Ini Untuk Palestina.
Hari ini adalah hari Minggu.
Hari Minggu berarti hari liqo, dimana biasanya saya dan teman liqo berkumpul di salah satu rumah yang sudah ditentukan untuk berbagi materi agama. Tapi hari ini beda, saya dan teman liqo saya pergi ke Teater Pongo yang ada di Mekarsari untuk menyaksikan pemutaran film dokumenter ‘Perang 51 Hari, Kisah Perjuangan Terowongan’.
Film dokumenter ini adalah film yang mengisahkan tentang perjuangan pasukan Palestina yang berniat menghabisi pasukan Israel melalui terowongan-terowongan yang ada. Di film ini, ada empat pejuang yang berjuang pada bulan Ramadan untuk menghabisi tank-tank dari Israel. Di terowongan sempit yang hanya dapat dilalui satu orang dewasa itu, para pejuang tersebut tetap solat, membaca Quran, dan berpuasa walalu hanya saur dengan sebiji buah kurma.
Sebelum film itu dimulai, salah satu panitia menceritakan. Pernah di Palestina sana, 5 orang mujahidin bermimpi yang sama. Di mimpi itu, para mujahidin sudah siap hantam dengan pasukan Israel. Kondisi sudah kritis, ketika tiba-tiba datanglah satu pasukan. Israel yang perkasa menekuk lutut, kalah dengan kedatangan pasukan baru ini. Siapa pasukan itu, pembaca mungkin bertanya.
“Mereka mengatakan pasukan tersebut adalah pasukan dari Indonesia, Allahuakbar!” seru sang pembawa acara, diikuti oleh penonton teater.
Pikiran sinis sempat terbesit, Ah masa.
Film itu akhirnya diputar, dan saya menonton dalam diam. Saya melihat para wartawan yang ditindas oleh pasukan Israel, para pemuda yang melempari batu ke mobil Israel, pejuang Hammas yang melaksanakan ibadah di bawah laut. Saya melihat pejuang yang menyesal tidak bisa meledakkan satu tank tapi tetap percaya Allah akan memberi yang lebih baik. Saya melihat semangat pejuang yang menolak untuk digantikan dengan pasukan lain. Kata-kata seperti Allahuakbar, Ya Rabbi, dan Ya Allah sering terucap di lidah mereka, dan kata-kata itu lebih dari sekedar latah dan celetukan belaka selayaknya bagaimana kita orang Indonesia sering mengucapkannya.
Disitu juga, saya melihat kisah dua sahabat yang berkata, “Semoga Allah mempertemukan kita di surga-Nya,” sebelum keluar terowongan untuk mengintai pasukan Israel.
Kedua sahabat itu meninggal sebagai Syuhada, dan banyak penonton menangisi kematian mereka.
Selama pemutaran film, saya berpikir. Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan? Dengan ibu dan istri yang menangisi mereka? Dengan adik yang kehilangan kakak di medan perang? Waktu masih kecil, mungkin saya akan berpikir, egois sekali meninggalkan keluarga yang berupa bentuk amanah dari Allah. Tapi ketika dilihat lagi, saya tidak punya hak untuk berpikir seperti itu, apalagi ketika posisi saya adalah seorang penonton yang hanya melihat 53 menit cuplikan dari penderitaan yang sudah ada selama puluhan tahun.
Pejuang Hamas meninggalkan keluarga, istri, ibu, dan dunia untuk Allah, untuk kematian yang mulia, dan tahta yang tinggi di Surga. Siapa yang bisa menolak tawaran itu, walau taruhannya nyawa?
Saya, mungkin, tapi bukan pejuang Hammas. Bukan mereka, para Hafidz, yang percaya dengan janji Allah. Mereka yang lebih memilih kekal di Surga daripada kesenangan sementara seperti pernikahan dan jabatan tinggi.
Sebelum masuk ke teater, seorang teman sempat berceletuk bercanda, “Kalo kita masuk terus tiba-tiba teaternya dibom gimana?”
“Jangan dong, belom juga gue kuliah.”
“Tau, gua belom nikah.”
“Iya, mau lulus dulu kali.”
Pembaca bisa tebak sendiri jawaban yang saya lontarkan yang mana. Tapi mengingat percakapan itu, saya rasanya ingin tertawa. Mana ada pikiran seperti itu yang terbesit di pikiran para mujahidin ketika mereka mendaftarkan diri sebagai prajurit. Ketika nama mereka tercantum, mereka pasti sudah rela membuang kehidupan dunia yang fana demi kemenangan umat.
Sementara disini saya masih bisa memikirkan nilai UAS, universitas, jodoh, acara class meeting, dan hal sepele sambil tiduran di atas kasur empuk dan di bawah atap yang kuat menghadang matahari dan hujan.
فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman [55] )
Banyak.
Lalu kenapa tidak berubah, selagi masih sempat?
Saya rasa jawaban kita tidak akan jauh berbeda.
Intinya–apa intinya? Intinya, masih banyak manusia di luar sana yang butuh pemahaman bahwa kita sebagai manusia yang dapat hidup aman masih amat sangat tidak bersyukur.
Mujahidin disana butuh bantuan kita semua baik berupa sumbangan senjata, uang, ataupun doa. Jika pembaca tidak sanggup memberi sedikitpun dari salah satu itu, setidaknya biarkan dengan membaca ini, perjuangan mereka terbesit di pikiran Anda walau cuma sekilas.
Ini untuk Palestina.
To. Ananda zhafira….
Jazakillah tulisannya.. menjadi renungan dan nasehat bagi kita semua …
Syukron pak sudah mampir, semoga bisa menyentuh pembaca 🙂