Impian Masa Kecil

What’s your childhood dream?

Ketika ditanya seperti itu, mayoritas orang akan dengan mudahnya menjawab seperti pilot, polisi, dokter, tentara, dan sejuta profesi lain yang ada. Saya tidak terkecuali, karena selama ini saya kira dream atau cita-cita itu hanya terbatas kepada profesi belaka.

Tapi jika ditanya lagi dengan pertanyaan itu, saya ingin menjawab sesuatu yang berbeda. Saya ingin menjawab apa yang dari kecil sudah saya impikan, segila apapun itu.

Saya ingin menjadi seorang istri, di usia muda, kepada seorang lelaki yang mencintai Tuhan. Tanpa embel-embel menjadi ibu atau berkeluarga, saya hanya ingin menjadi seorang istri dan berpacaran secara halal bersama seorang laki-laki sampai nanti tiba waktu yang cocok bagi kami untuk memulai keluarga. Simpel, mudah, dan sulit dipahami bagi orang yang tidak mengetahui banyak tentang agama.

Saya tumbuh di keluarga Islam yang berpemahaman bahwa seorang perempuan harus menjaga kehormatannya dan tidak boleh dengan mudahnya luluh dengan laki-laki. Seorang perempuan yang baik adalah perempuan yang menjaga dirinya untuk seseorang yang sudah menjadi pilihan Tuhan baginya. Tugas perempuan hanyalah mempersiapkan diri dan menunggu sampai saatnya tiba.

Sekarang ini sudah 2015, hampir 2016, bahkan, dan mungkin pembaca akan berpikir, “Primitif banget sih, jaman kan sudah modern?”

Pikiran seperti itu juga sering terbesit di benak saya sesekali, dan saya akui saya sendiri pernah merasakan yang namanya pacaran atau dekat dengan lawan jenis di luar batas. Tapi pada akhirnya, terbawa dengan mimpi masa kecil, sekarang setiap saya merasa ada laki-laki yang bisa menarik hati, saya langsung berpikir, apakah saya mau menikah dengannya? Apakah saya bersedia dipimpin oleh laki-laki seperti dia? Apakah dia bisa menjadi imam yang baik untuk kehidupan rumah tangga kedepannya?

Sampai saat ini, kebanyakan jawabannya berakhir tidak.

Tapi semua ini tidak otomatis menutup hati. Apakah saya ingin mencintai dan dicintai? Tentu saja mau, lalu bagaimana caranya?

Gampang, menikah saja.

Ketika saya mengungkapkan ini kepada publik, pernah ada yang memberi celetukan, “Jadi orang itu jangan koleksi mantan suami, mantan pacar mah gakpapa.”

“Emang yang mau cerai siapa?” tanya saya heran.

“Ya pasti cerai lah. Kalo lu nikah sama orang sebelum lu kenal dia baik buruknya gimana, lu pasti nyesel,” jelas dia.

Saya semakin heran. “Kan sebelum nikah pasti gua udah istikhoroh, Allah pasti ngasih yang terbaik.”

“Jadi orang tuh nikmatin dulu masa muda lu,” tukasnya.

“Ngapain?” Ketika itu, saya sudah kesal. “Emangnya gak bisa ya, seneng-seneng sama suami?”

“Terus lu umur 18 udah mau punya anak, gitu?”

Disini saya agak sedih. Saya kira di jaman modern ini orang tidak akan otomatis menyangkutpautkan pernikahan dengan memulai keluarga, atau yang paling parah putus sekolah.

Pernah juga baru-baru ini seseorang bertanya, “Tapi kamu pasti pernah kan, suka sama orang?”

Suka, jika diartikan lebih dari chat setiap hari dan di greet pagi siang sore, saya jawab, “Percuma kak, toh suka sama anak di sekolah pasti gak akan berujung nikah,” jawab saya.

Pada akhirnya teman saya yang pertama memang tidak satu paham dengan saya, dan saya memakluminya. Sempat ragu juga, karena saya tidak pernah mendengar cerita orang menikah di usia yang begitu muda, apalagi pada jaman seperti sekarang, sampai akhirnya pada tahun ini, saya mendengar dua kabar pernikahan yang baru berlangsung tahun 2015 ini.

Yang pertama adalah pernikahan antara pemuda Malaysia dengan remaja kelahiran Indonesia-Jepang. Keduanya sekarang berusia 18 tahun dan bersekolah di suatu Universitas di Malaysia.  Berikut adalah artikel yang ditulis oleh sang suami, Harun Johari, yang menjelaskan kenapa mereka memilih untuk menikah di usia begitu muda yang berjudul ‘Why We Get Married at 18’.

Jawabannya begitu mudah, saya kutip,

Some people might be asking, “Why at the age of 18? Is it not too rushing?”

Allah (s.w.t) has stated in the Holy Quran;

وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلزِّنَىٰٓ‌ۖ إِنَّهُ ۥ كَانَ فَـٰحِشَةً۬ وَسَآءَ سَبِيلاً۬

“And do not approach adultery. Indeed, it is ever an immorality and is evil as a way.”

 [Surah Al-Isra’ 17:32]

Pernikahan kedua adalah pernikahan yang saya hadiri baru-baru ini. Lagi-lagi seorang remaja cantik nan dewasa berusia 18 tahun, lulusan sekolah Husnul Khotimah, dengan laki-laki berusia 21 tahun. Perempuan ini merupakan gadis cerdas yang menduduki peringkat 2 seangkatan di sekolahnya, dan seorang teman dari sekolah tersebut bercerita kepada saya bahwa yang menduduki peringkat satu juga baru saja menikah dan sudah dibawa oleh suaminya ke luar negeri.

Saya jadi iri.

Ketika Anda hidup di lingkungan islami yang kuat, rasanya mudah saja bertemu dengan laki-laki yang berprinsip sama untuk berta’aruf, berkhitbah, dan menikah.

Lalu saya pernah bertanya kepada Ummi saya. Bagaimana jika saya ingin menikah tapi baik saya maupun suami saya tidak dapat membayar sekolah secara mandiri? Andaikan saja saya dan suami saya masih usia kuliah, bagaiman dengan biayanya? Hal seperti itu dapat didiskusikan, jawabnya. Selama dua pihak keluarga sama-sama setuju, kenapa tidak?

Ketika orangtua saja setuju dengan saya menikah ssetelah lulus SMA, rasanya mudah saja menunggu sampai waktunya tiba sambil memantaskan diri dan memperbaiki kebiasaan-kebiasaan kecil seperti menjemur handuk kembali dan melipat mukena kembali setelah solat, karena tidak pantas berharap mendapatkan suami yang sedemikian rupa jika saya tidak seperti itu juga.

Untuk saat ini, saya hanya berharap pembaca dapat mengerti bahwa pandangan seperti ini masih ada walaupun pada jaman seperti ini. Banyak, bahkan, dan saya harap pembaca dapat menghargai perbedaan prinsip dan keyakinan yang kerap terjadi untuk urusan agama. Terima kasih untuk waktunya.

Ini untuk impian kecil.

5 thoughts on “Impian Masa Kecil

  1. Who on earth wrote this thing so truly? Zhaaaa exactly the same as my thought!!! I love it
    بارك الله فيك
    May Allah grant you a pious and perfect husband for you, to reach the Jannah, Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.
    I wish all muslims understand what a right marriage is.

    1. I’m a bit surprised you commented here as well! It is a bit unfortunate how people seem to equalize marriage with stopping life and settling down. On the contrary, I think marriage is just the beginning of life. Aamiin, thank you for your prayer, and may Allah grants you the same.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *